TUGAS KELOMPOK
QAWAIDHUL FIQHIYAH
“SEJARAH
PERKEMBANGAN DAN PENULISAN QAWAIDHUL FIQHIYAH”
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Qawaidul Fiqhiyah
Kelompok
4 :
1. Abdul
Qodir M1721001
2. Fusila
Rizqi Ardiani A1711005
3. M.
Kholil M1721012
Dosen
Pengampu : H. M. Makmuri Aziz, M.Pd.I
SEKOLAH TINGGI ILMU
EKONOMI SYARI’AH
PUTERA BANGSA TEGAL
TAHUN 2019
KATA
PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sejarah Perkembangan Dan
Penulisan Qawaidhul Fiqhiyah” ini dengan baik.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen yang telah memberikan tugas
dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Tegal, 15 Februari 2019
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR
ISI ....................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar
Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan
....................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A. Periode
Tumbuh dan Pembentukan Qawaid Fiqiyah Pada Masa Pembentukan Hukum (‘Asru
Risalah) .............................................................................................................. 3
B. Periode
Perkembangan dan Penulisan ...................................................... 7
C. Periode
Pemantapan Dan Sistematisasi .................................................... 11
D. Kitab-Kitab
Qawaid Fiqhiyah .................................................................. 14
E. Metodologi Penyusunan Qawaid Fiqhiyah .............................................. 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 16
A. Kesimpulan ............................................................................................... 16
B. Saran ......................................................................................................... 17
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh)
merupakan salah satu kebutuhan bagi kita semua. Dengan menguasai kaidah-kaidah
fiqh kita akan mengetahui benang merah dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh
itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh dan lebih arif dalam
menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah
mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.
Hal ini tidak lain karena kaidah fiqh sebagai
hasil dari cara berfikir induktif, dengan meneliti materi-materi fiqh yang
banyak sekali jumlahnya yang tersebar di dalam ribuan kitab fiqh. Jika kita
lihat, sejarah perkembangan hukum Islam (tarikh al-tasyri’ al-islami) tidak
menguraikan qawaid fiqhiyyah secara komperhensif (menyeluruh). Kitab-kitab
sejarah perkembangan hukum Islam tidak mengkaji qawaid fiqhiyyah, apalagi
sampai menjelaskan kegunanaan (urgensi) dan kedudukannya dalam hukum Islam.
Dengan demikian, penelusuran terhadap
perkembangan dan pengkodifikasian qawaid fiqhiyyah sangat penting dilakukan.
Penelusuran tersebut, sedikit banyak akan dapat memberikan kejelasan tentang
kegunaan (urgensi) dan kedudukan qawaid fiqhiyyah dalam hukum Islam. Begitu
juga, tentang latar belakang sejarah perkembangan hukum Islam tidak mengkaji
qawaid fiqhiyyah secara menyeluruh.
Untuk itu di sini penulis sedikit
banyak akan menerangkan mengenai sejarah dari qawaid fiqhiyyah yang mencakup
pembentukan, perkembangan, kodifikasi serta penyempurnaan qawaid fiqhiyyah.
B. Rumusan Masalah
A. Bagaimana Sejarah Qawaidhul
Fiqhiyah?
B. Bagaimana Proses Perkembangan dan
Penulisan Qawaidhul Fiqhiyah?
C. Apa saja kajian-kajian Qawaidhul
Fiqhiyah?
D. Menyebutkan kitab-kitab kaidah
Qawaidhul Fiqhiyah?
E. Bagaimana Metodologi Penyusunan
Qawaidhul Fiqhiyah?
C. Tujuan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui,
memahami, dan mengerti tentang Qawaidhul Fiqhiyah dari mulai Sejarah,
Penulisan, Perkembangan, serta Penyusunan Qawaidhul Fiqhiyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Periode
Tumbuh dan Pembentukan Qawaid Fiqiyah
Pada Masa Pembentukan Hukum ('Asru
Risalah)
Periode ini
meliputi 'asru risalah atau 'asru tasyri' (masa pembentukan hukum)
yaitu zaman Nabi, zaman Alquran diturunkan dan hadis-hadis disampaikan, zaman
sahabat atau yang dikenal dengan zaman khulafaau
al-rasyidin, zaman tabi'in dan tabi' tabi'in. Dengan kata lain periode
ini sejak bi'tsah Nabi sampai zaman keemasan fiqh di awal abad ke-4 H.
Pada zaman tasyri’ lahirlah berbagai kaidah hukum
baik dari Alquran maupun melalui Sunnah. Seperti yang diketahui bahwa beberapa
qaidah fiqh langsung diambil dari Alquran ataupun Sunnah. Artinya ungkapan
Alquran yang memiliki sifati i'jaz
dan sunnah dari Nabi yang dianugerahi kemampuan yang luar biasa dalam merangkai
kata (jawami' al-kalim), selain
sebagai sumber hukum sekakigus memenuhi kriteria qawaid fiqh, yaitu mengandung hukum yang bersifat umum yang dapat
menerangkan hukum masalah furu' yang banyak. Qawaid yang diambil langsung dari nash. Ini juga disebut dengan al-taq'id bi al-nash.[1]
Cakupan Alquran terhadap qawaid fiqhiyah tsabit (ada)
dari berbagai sisi, di antaranya:[2]
a.
Dari sisi penunjukan
nash (tanshish) atas kandungan qawaid, seperti untuk kemudahan (taisir) dan dharar.
b.
Dari sisi adanya
hukum-hukum fikih yang dianggap furu'
dari qawaid.
c.
Dari sisi metode taq'id dan ta’shil (pembentukan kaidah dan penentuan dasar) yang ditempuh oleh
Alquran.
d.
Dari sisi bahwa Alquran
menyuruh untuk mengikut apa yang diistinbathkan
ulama, sehingga beramal dengan qawaid
semacam mengikut yang diperintahkan.
e.
Dari sisi perintah
dalam Alquran untuk menjaga hukumhukum fiqh, dan menjaga hukum fikih salah
satunya dengan merumuskan qawaid fiqhiyah.
f.
Dari sisi bahwa Alquran
adalah ashal dari sunnah yang juga
merupakan ashal dari qawaid fiqhiyah.
Beberapa
kaidah qawaid fiqhiyah yang secara
langsung :dinyatakan
dalam Alquran, sebagai berikut
وأحل الله البيع وحرم الربوا
تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل ولا فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ومن يعمل مثقال ذرة
شرا يره
Cakupan hadis terhadap qawaid fiqhiyah juga tsabit
dengan berbagai aspek, termasuk keempat sisi cakupan Alquran terhadap qawaid fiqhiyah di atas ditambah karena
Nabi langsung menyebutkan qawaid fiqhiyah.[3]
Contoh qawaid yang dinyatakan hadis secara langsung
di antaranya:
الخراج
بالضمان العجماء جرحها جبار لا ضرر ولا
ضرار البينة على المدعي واليمين على من أنكر وما أسكر كثيره فقليلو حرام
Imam
Ibnu Taimiyah mengomentari hadis Nabi yang terakir ini dengan: “Rasulullah,
dengan diberikan kemampuan jawami’
al-kalim, menggabungkan semua yang menutup akal atau membuat seseorang
mabuk dan tidak membedakan antara satu jenis dengan yang lain, atau tidak
membedakan apakah dianya dimakan atau diminum. Inilah kaedah yang tegas yang
dirumuskan Nabi dalam bab benda-benda yang memabukkan dan hukumnya.[4]
Demikian pula ditemukan atsar dari fuqaha sahabat, ungkapan-ungkapan yang dapat
dikategorikan sebagai qawaid fiqh.
Misalnya ungkapan yang masyhur dari Umar bin Khattab: يقاطع
انحقٕق عُُد انشرٔط dan
dari beliau juga: ييٍ
عطم أرضا ثلاث س يسُيٍ
.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib نى يعً رْْا فجاء غيرِ
فعً رْْا فٓٓي نّ. نيس عهى ,ييٍ قاسى
انربح فلا ضً اضًاٌ عهيّdiriwayatkan oleh
Abdurrazaq :
ييٍ أجر أجيرا فٓفٕٓ ضايضايٍ , صاحب
انعارية ض اٌ. Ungkapan-ungkapan diatas muncul ketika
mencari dasar untuk suatu prinsip ( تأصيم
يبدأ) atau ketika mencari 'illat hukum (تعهيم )الأحكاو dianggap sebagai qawaid penting dalam muamalat maliyah.[5]
Dari periode tabiin, sebelum terbentuknya
mazhabmazhab fikih, dapat ditemukan beberapa qawaid fiqh. Misalnya yang diiriwayat dari ungkapan Imam al-Qadhi
Syuraih bin alHarits al-Kindi (76 H) tentang syarat-syarat al-ja’liyah: ييٍ
شرط
7.ييٍ
ضًضًٍ يالا فهفهّ ربحّ ,عهى فسَفسّ طائعا
غير يكرِ فٓفٕٓ عهيّ
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa pada zaman
nabi, sahabat dan tabi'in, atau pada periode fikih belum lagi ditulis, qawaid fiqhiyah telah ada, dan bahwa
periode itu dianggap dasar pembentukan qawaid
fiqhiyah.
Adapun setelah penulisan fikih, pembentukan dan
perumusan qawaid fiqh juga ikut
berkembang secara bertahap, dan mencapai puncaknya di tangan para fuqaha besar
mazhabmazhab fiqh. Barangkali kitab yang paling tua tentang qawaid fiqh adalah kitab al-Kharaj,
karya Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, murid tertua Imam Abu
Hanifah (182 H).8 Di antara qawaid
fiqh dalam kitab al-Kaharaj adalah sebagai berikut:
التعزير إلى الإمام على قدر عظم
الجرم وصغره كل من مات من المسلمين لا
وارث لو فمالو لبيت المال ليس للإمام أن يخرج شيئا من يد أحد إلا بحق ثابت معروف
ليس لأحد أن يحدث مرجا في ملك غيره و لا يتخذ فيو نهرا ولا بئرا ولا مزرعة إلا
بإذن صاحبو ولصاحبو أن يحدث ذلك كلو
Demikian pula yang termasuk sumber paling tua adalah
beberapa kitab Imam Muhammad bin Hasan al-Saybani (189 H), dalam kitabnya al-Ashl. Dalam kitab itu beliau
kelihatan memberikan ‘illat beberapa
masalah dan ta’lil ini kebanyakan
berupa kaedah. Misalnya: لا يجتًًع الاجر ٔ انض
اانضًاٌ . Dalam kitab al-Hujjah Imam al-Saybani
merumuskan bebarapa kaidah, misalnya:[6]
كل شيء كره أكلو و الإنتفاع بو على وجو من الوجوه فشراؤه
وبيعو مكروه وكل شيء لا بأس بالانتغاع من
لو حق فهو لو على حالو حتى يأتيو اليقين على خلاف ذلك التحرى يجوز في كل ما جازت
فيو الضرورة
Dalam
kitab al-Umm karangan Imam Syafi'i (204 H) kadang-kadang menggandengkan furu' dengan ushulnya, dan ushul itu
biasanya tidak keluar dari dhawabith
fiqhiyah. Di antara kaidah yang ditulis Imam Syafi’i dalam al-Umm adalah
sebagai berikut:
الأعظم إذا سقط عن الناس سقط ما ىو أصغر منو الرخص
لا يتعدى بها مواضعها ولا عمل عامل إنما ينسب إلى كل
قولو وعملو لا ينسب إلى ساكت قول قائل يجوز في الضرورة ما لا يجوز في غيرىا , قد
يباح في لضرورة ما لا يباح في غير الضرورات; ,
كل ما أحل من محرم في معنى لا يحل إلا في ذلك المعنى خاصة .
Abu Daud juga meriwayat dari Imam Ahmad (241 H)
dalam kitab al-Masail ungkapan yang memenui kriteria qawaid. Namun qawaid ini
ditujukan untuk bab-bab khusus (dhawabith),
misalnya dalam bab hibah: كم
يا جاز في انتيع تجٕٕز في انٓبة ٔانصدقة
كم شيء يشترييشتريّ انرجم يًًا يكال أٔ ي
زيٕزٌ فلا atau dalam bab bai' : انرْٔانرٍْ
[7] . بيعّ حتى يقبض ٔأيا غير ذنك فرخص فيّ
Dari serangkaian uraian kajian kaidah-kaidah di
atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Qawaid
fiqhiyah telah wujud dan tertanam dalam
pemikiran para ulama dalam periode salaf. Walaupun belum bernama qawaid fiqhiyah dan menjadi cabang ilmu
sendiri, namun qawaid yang mengalir
dari lisan para ulama tersebut sudah menyerupai qawaid fiqhiyah pada abab-abad terakhir.
b.
Atsar
atau ungkapan-ungkapan ulama salaf tersebut dapat dianggap batu loncatan bagi
ulama mutaakhirin dalam merumuskan, mengumpulkan, menulis dan mengembangkan qawaid fiqhiyah.
B. Periode
Perkembangan dan Penulisan
Periode ini dimulai ketika kajian qawaid telah berupa cabang ilmu
tersendiri, yang dimulai dari awal abad ke-4 H dan berlanjut selama beberapa
abad. Periode ini dicatat pula sebagai masa mengendornya laju pertumbuhan
pengkajian fikih, setelah melalui masa keemasan, yang meninggalkan khazanah
fikih yang luar biasa. Para ulama pada periode ini cenderung untuk menulisnya,
memberikan dalil, mentarjihnya saja, atau memanfaatkan hukum-hukum ijtihadiyah yang telah dijelaskan illat
hukumnya untuk menetapkan hukum kasus-kasus baru yang muncul.[8]
Dalam aktivitas mentakhrij furu' kepada ushul para mujtahidin ternyata
menjadikan pengkajian fikih menjadi berkembang dan meluas, memunculkan metode
dan ilmu baru. Metode-metode itu kadang-kadang berupa qawaid dan dhawabith,
kadang-kdang berupa furu’, algaz, mutharahat dan lain-lain.[9]
Sejarah mencatat bahwa ulama Hanafiah lebih
terdahulu dari yang lain. Mungkin ini karena kayanya mereka dengan masalah furu’, sehingga beberapa ushul pun
dirumuskan dari furu’ ulama mazhab
mereka. Misalnya, Imam Muhammad dalam kita al-Ashl ketika membahas satu masalah
memberikan furu’ dengan jumlah yang
sangat banyak, sehingga sulit untuk menguasainya.[10]
Imam Abu Thaher al-Dabbas, seorang
ulama abad ke-4 H, adalah ulama yang paling terdahulu --menurut riwayat yang
sampai kepada kita-- yang mengumpulkan qawaid
fiqhiyah dan menyusunnya sesuai susunan kitab fiqh. Beliau mengumpulkan qawaid mazhab Abu Hanifah dalam 17
kaidah, dan konon beliau selalu mengulang-ulang qawaid ini setiap malam di masjidnya.
Cukup
sulit untuk memastikan ke-17 qawaid
Imam al-Dabbas itu. Hanya diriwayatkan bahwa Abu Saad al-Harawi alSyafi’i
belajar kepada beliau dan menyalin beberapa qawaid.
Di antara qawaid itu adalah qawaid asasiah yang terkenal, sebagai
berikut:
الأمور بمقاصدىا اليقين لا يزول بالشك المشقة تجلب التيسير
الضرر يزال العادة محكمة
Atau dari apa yang ditulis oleh ulama seangkatan
beliau Imam al-Karkhi (340 H), yang kemungkinan menyalin qawaid itu dan menambahnya sehingga menjadi 39 kaidah. Kemudian
setelah itu datang Imam Abu Zaid al-Dabbusy (430 H) yang menambah apa yang
diterima dari Imam al-Kurkhi ini, dan menulisnya dalam satu kitab tersendiri
berjudul Ta’sis alNazhar. Inilah
kitab pertama dalam ilmu qawaid fiqh
dan merupakan permulaan periode penulisan. Sayangnya setelah kitab Ta’ssi al-Nazhar ini tidak ditemukan
lagi kitab yang ditulis pada abad ke-5 ini, bahkan juga abad ke-6, kecuali
kitab idhah al-qawaid yang ditulis
oleh Imam Alaiddin Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (540 H).[11]
Pada abad ke-7, ilmu ini mulai bekembang walaupun
belum mencapai kematangannya. Di antara ulama yang menonjol dan menulis dalam
bidang ini adalalh Muhammad bin Ibrahim al-Jajarmy al-Suhlaki (613 H) yang
menulis kitab alQawaid fi Furu
al-Syafi’iyah, kemudian Imam Izzuddin bin Abd Salam (660 H) yang menulis
kitab Qawaid al-Akam fi Mashalih al-Anam.
Di antara ulama mazhab Maliki yang menulis pada abad ini ialah: Muhammad bin
Abdullah bin Rasyid al-Bakary al-Qafshi dengan kitab yang berjudul al-Muzhab fi Qawaid al-Mazhab.[12]
Abad ke-8 dianggap abad keemasan penulisan qawaid fiqhiyah. Ulama dari kalangan
Syafi’iyah dalam hal ini mendahului ulama mazhab lain. Di antara karya dalam qawaid fiqhiyah yang terpenting dan
terkenal adalah sebagai berikut:[13]
a.
al-Asybah
wa al-Nazha-ir, oleh Ibnu Wakil al-Syafi’i (716 H)
b.
Kitab al-Qawaid, oleh al-Maqarra al-Maliki
(758)
c.
al-Majmu'
al-Muzhab fi Dhabth Qawaid al-Mazhab,
oleh al-
Ala-I
al-Syafi'I 9761 H)
d.
al-Asybah
wa al-Nazhair, oleh Tajuddin al-Subki (771 H),
e.
al-Asybah
wa al-Nazhair, oleh jamaluddin al-Isnawi (772 H)
f.
al-Mantsur
fi al-qawaid, oleh Baruddin al-Zarkasyi (794 H)
g.
al-Qawaid
fi al-Fiqh, oleh Ibnu rajab al-Hanbali (795 H)
h.
al-Qawaid
fi al-Furu', oleh Ali bin Utsman al-Gazzi (799
H).
Ulama
abad ke-9 meneruskan dan menyempurnakan usaha ulama abad sebelumnya. Di antara
karya dan ulama yang menonjol pada abad ini adalah sebagai berikut:[14]
a.
Kitab
fi al-qawaid, dengan merujuk kepada kitab Ibnu
Subki,
oleh Ibnu Mulaqqin (804 H)
b.
Asna
al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid, oleh Muhammad
bin Muhammad al-Zubairi (808 H)
c.
al-Qawaid
al-Manzhumah, oleh Ibnu al-Haim al-Maqdisi
(815
H)
d.
Kitab al-Qawaid, oleh Taqiyuddin al-Hishni
(829 H)
e.
Nazhmu
al-Dakhair fi al-Asybah wa al-Nazhair,
oleh
Abdurrahman
bin Ali al-Maqdisi (876 H)
f.
al-Kulliyat
al-Fiqhiyah wa al-Qawaid, oleh Ibnu Ghazi al-
Maliki
(901 H)
g.
al-Qawaid
wa al-Dawabith, oleh Ibnu Abdul Hadi (909 H).
Pada abad ke-10 penulisan dalam ilmu ini terus
berlanjut. ‘Allamah al-Suyuthi (910 H) mengumpulkan qawaid yang bertebaran dalam al-Alai, al-Subki dan al-Zarkasyi
dengan menulis kitab al-Asyabah wa
al-Nazhair. Demikian pula ‘Allamah Abu Hasan al-Zaqqaq al-Tujibyi al-Maliki
(912 H) mengumpulkan dari kitab pendahulunya seperti dari al-Furuq oleh
al-Garafi dan kitab al-Qawaid oleh al-Mamaqarra. Ibnu Nujaim al-Hanafi (970 H)
juga menulis kitab mirip dengan al-Suyuthi, diberi judul al-Asybah wa al-Nazhair.[15]
Demikianlah ilmu yang terus berkembang sepanjang
zaman tetap terputus, pada abad ke-11 dan abad-abad setelah itu. Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa periode kedua dari perkembangan qawaid fiqh, yaitu periode perkembangan
dan penulisan, yang dimulai dari al-Khurkhi dan al-Dabbusy hampir mendekati
kesempurnaannya melalui usaha yang berkesinambungan dalam beberapa abad.
Dari
uraian tentang perkembangan qawaid fiqhiyah pada periode ini ada beberapa
catatan, sebagai berikut:
a.
Mayoritas ulama yang
menulis qawaid fiqhiyah mencukupkan dengan menukil dari qawaid fiqhiyah yang
telah dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya. Beberapa ulama yang memang
terkenal dengan kedalaman ilmu mereka seperti Ibnu Wakil, al-Subki dan al-Alai
mungkin ada merumuskan qawaid yang belum dibuat oleh ulama sebelunya.
b.
Para fuqaha seperti
al-Kasaniy, Qadhikhan, Jamaluddin alHashiri dari kalangan Hanafiyah, al-Qarafy
dari kalangan Malikiya, al-Juwainiy dan al-Nawaiy dari kalangan Syafi'iyah,
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim membahas qawaid fiqhiyah ketika memberikan 'illat
suatu hukum dan mentarjih pendapat-pendapa ulama menggandengkannya dengan furu’ dan hukum-hukum.
C. Periode
Pemantapan Dan Sistematisasi
Sebelumnya telah diuraikan bahwa qawaid fiqhiyah di awal-awal
kemunculannya hanya beredar pada ungkapan lisan para ulama terdahulu baik dari
generasi tabi'in atau para imam mujtahid, kemudian diriwayatkan oleh para
muridnya dan fuqaha pengikut mereka, sampai kepada penulisannya sehingga mulai
menampakkan identitasnya. Tanpa memandang ringan usaha yang diberikan namun
sejauh ini qawaid tersebut masih
terpisah-pisah, tersebar dalam berbagai karya tulis, sebagian bercampur dengan
ilmu lain seperti furuq dan alghaz, kadangkadang bercampur dengan qawaid ushuliyah .
Qawaid
fiqiyah mencapai kemantapannya pada akhir abad
ke-13, di masa pemerintaan Sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan al-Usmani, yaitu
ketika satu komite yang terdiri dari fuqaha’ masa itu berhasil merumuskan
kumpulan qawaid fiqhiyah yang
dinamakan al-Majallah al-Adliyah
al-Usmaniyah.
Qawaid
tersebut dipilih dan disaring dari sumber-sumber hukum Islam dan karya-karya
besar yang dalam bidang qawaid fiqiyah
seperti al-Asybah wa al-Nazhair Ibnu
Nujaim, Majami' alHaqaiq al-Khadimy.
Dan perlu dicatat bahwa para fuqaha’ yang menulis ini bekerja dengan sangat
baik, baik dalam pemilihan maupun dalam sistematisasinya yang mirip
undang-undang dengan ungkapan yang ringkas. Kitab al-Majallah yang diluncurkan
tahun 1286 H menjadikan qawaid fiqiyah
lebih dikenal orang.[16]
Penulisan qawaid
fiqhiyah pada masa kini dapat dibagi kepada beberapa model. Ada model tahqiq (studi) terhadap karya ulama
terdahulu, ada yang merangkum qawaid
fiqhyah dari kitab-kitab fiqh, dan ada yang menyusun qawaid tersebut dengan urutan tertentu. Di antara kitab qawaid yang telah ditahqiq ialah:
a.
al-Asybah
wa al-Nazhair karya Ibnu Subki, tahun 1411
b.
al-Asybah
wa al-Nazhair karya Ibnu Wakil , tahun 1413
c.
al-Qawaid
karya al-Hishni
d.
al-Mantsur
fi al-qawaid karangan al-Zarkasyi
e.
al-Qawaid
karya al-Maqarra
f.
Idhah
al-masalik karya al-Wansyarisiy, tahun 1400 H
g.
Mukhtasar
Min qawaid al-Alai wa kalam al-Asnawi
karya
Ibnu
Katib al-Dahsyah, taun 1984
h.
al-Majmu'
al-Muzhab fi qawaid al-Mazab karya al-Ala-I, tahun
1414
i.
Syarah
al-manhaj al-Muntakhab ila Qawaid al-Mazhab
karya Ibnu al-Manjur.
Di antara penulisan modern yang merangkum qawaid dari kitab-kitab fikih ialah:
a.
Qawaid
Fiqh al-Maliki, dirangkum dari al-Isyaraf 'ala Masail al-Khilaf karya
Qadhi Abdul Wahab, dirangkum oleh DR. Muhammad al-Ruki, taun 1419.
b.
al-Qawaid
al-Fiqhyah pada Bab Ibadah dan Muamalah, dirangkum
dari al-Mugni Ibnu Qudamah, oleh
Abdullah Isa, 1409.
c.
al-Qawaid
wa al-Dhawabith yang dirangkum dari al-Tahrir li al-Husairi oleh DR. Ali
Ahmad al-Nadawi, taun 1411.
d.
Al-qawaid wa al-Dhawabith al-fiqiyah 'Inda Ibnu Taimiyah Fi Kitab
Thaharah wa al-Shalah, karya Dr. Nasir al-Miman, tahun 1416.
Kitab-kitab yang menyusun ulang qawaid, di antara nya adalah sebagai berikut:
a.
Qawaid
Fiqh, karangan syeikh Amim al-Ihsan
alMujaddidiy al-Barkatiy, yang mengampulkan 26 Kaedah dan menyusun menurut
huruf hijaiyah, tahun 1407 H.
b.
Mausu'ah
al-Qawaid al-Fiqhiyah, karya DR. Sidqi
al-Burnu, tahun 1419.
c.
Jamharah
al-qawaid al-Fiqhiyah, karya Ali al-Nadawi.
Kitab-kitab yang membahas kaidah fikih tertentu atau
studi teoritis mendasar, sebagai berikut:
a.
Qa'idah
al-Umur bi Maqasidiha oleh Ya'qub
al-Bahusain, tahun 1418 H.
b.
Qa'idah
al-Masyaqqah tajlibu al-taysir oleh Jum'ah
al-Said Makki.
c.
Qaidah
I'mal al-Kalam aula min Ihmalihi oleh Syeik
Musthafa Hurmusy tahun 1406.
d.
Qaidah
al-Yaqin la Yazulu bi al-Syak oleh Ya'qub alBahusain
tahun 1416
Kitab-
kitab yang fokus untuk membahas sisi sejarah qawaid fiqhiyah, sebagai berikut:
a.
al-Qawaid
al-Fiqihiyah: Nasyaatuha, Dirasah
Muaallafatuha, Adillatua, Muhimmatuha, Tathbiquha
oleh Dr. Ali Ahmad al-Nadwi.
b.
al-Qawaid
al-Fiqhiyah: al-Mabadi’, al-Muqawamat, alMasadir, al-Daliliyah, al-Tatawur,
oleh Ya'qub al-Bahusain, tahun 1418.
c.
al-Wajiz
fi Idhah al-Qawaid al-Kulliyah oleh Dr.
Muhammad Sidqi al-Burnu tahun 1404.
d.
al-Qawaid
al-Kubra oleh Dr. Abdullah al-'Ajlan tahun 1416
H.
D. Kitab-Kitab Qawaid Fiqhiyah
Berikut karya-karya dalam bidang qawaid fiqhiyah:
1.
Sumber-sumber
kaidah fiqhiyah mazhab hanafi
a. Ushul al Karkhi (261-340 H) di
syarahi oleh Najmuddin an Nasfi (537 H)
b. Abi zaid Ad
Dabusi (430 H), terdapat 86 kaidah di dalamnya.
c. Asbah wa
Nazhair, karya Ibnu Najim (970 H) karya ini kemudian mendapat tanggapan luar biasa
dengan setidaknya memunculkan 5 karya yang berkaitan dengan karya ini.
d. Muhammad
Mustofa al Khadimi (1176 H)
2.
Sumber-sumber
kaidah fiqhiyah mazhab maliki
a. Ushulul fataya karya Muhammad
bin Harits bin asan Al Khosyni (361H)
b. Al Farq karya Al
Qarafi (684 H), memuat 548 kaidah fikih.
c. Al Qawaid karya Muhammad
Al Muqorry (758 H), memuat 758 kaidah fikih.
d. Idhoh al
masalik ila qawaid imam malik karya Ahmad bin Yahya alwansarisyi
(914 H), memuat 118 kaidah fikih.
3.
Sumber-sumber
kaidah fiqhiyah mazhab syafii
a. Qawaid al ahkam
fi mashalih al anam karya Izzudin bin Abdi salam (660 H)
b. Asbah wa
nadhair karya Ibnu Wakil As Syafii (716 H)
c. Asbah wa
nadhair karya Ibnu Wakl (716 H)
d. Al Majmu’ fi
qawaid al mazhab karya kholil al ‘Alaby (671 H)
e. Asbah wa
nadhair karya Ibnu subki (771 H)
f. Al mantsur fi
tartibi al qawaid al fiqhiyah karya al Zarkasyi (794 H)
g. Asbah wa
nadhair karya ibnu Mulqon (804 H)
h. Al Qawaid karya Abi
Bakar al hashani (729 H)
i.
Asbah wa nadhair karya Al suyuthi (911 H), memuat 20
kaidah.
j.
Al Istighna karya Sulaiman Al Bakary (1411 H)
4. Sumber-sumber
kaidah fiqhiyah mazhab hambali
a. Al Qawaid Al
Nuraniyah Al fiqhiyah karya Ibn Taimiyah (728 H)
b. Al Qawaid Al
Fiqhiyah karya Ahmad Ibn Hasan (771 H)
c. Taqrir al
Qawaid wa Tahrir al Fawaid Ibn Rajb (795 H) yang terkandung di dalamnya 160 kaidah
fiqhiyah.
d. Al Qawaid al
Kulliyah wa al Dhawabith al Fiqhiyah karya Yusuf Ibn Hasan (909 H)
e. Qawaid majallat
al ahkam al syariyah ala mazhab imam ahmad ibn hanbal karya Ahmad
Ibn Abdullah Al Hanafi (1359 H)
5. Pada masa
sekarang banyak kitab-kitab kaidah yang ditulis, seperti :
a. Al-Qawa’id
al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi.
b. Syarh
al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad
Zarqa.
c. Al-Wajiz fi
Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh. Shiddieqy bin Ahmad
al-Burnu.
d. Idhah
al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad
Ibadi.
e. Kaidah-kaidah
Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa Indonesia).
f. Kaidah Fikih oleh Jaih
Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).
E. Metodologi Penyusunan Qawaid Fiqhiyah
Metodologi ulama dalam penyusunan
qawaid fiqhiyah dalam penyusunan kaidah fiqhiyah ulama tidak hanya berdasarkan
atas satu metodologi saja. Terdapat bermacam-macam metodologi penyusunan kaidah
fiqhiyah, diantaranya :
1. Penyusunan
sesuai dengan huruf hijaiyah
2. Penyusunan
sesuai dengan subyek pembahasannya
3. Penyusunan
sesuai dengan bab dalam fiqh
4. Mengumpulkan
kaidah-kaidah tidak secara urut
Metodologi ulama dalam hubungan antara
kaidah fiqhiyah dengan yang ilmu yang lain :
1. Mengumpulkan kaidah
fiqhiyah dengan kaidah-kaidh yang lainya
2. Mengumpulkan kaidah
fiqhiyah dengan subyek pembahasan fiqhiyah yang lain.
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan qawaid fiqhiyyah
menurut Ali Ahmad al-Nadawi dapat dibagi ke dalam tiga fase, yaitu:
1. Fase
pertumbuhan dan pembentukan
2. Fase
perkembangan dan kodifikasi
3. Fase kematangan
dan penyempurnaan
Dari ketiga fase tersebut, dapat kita
ketahui bahwa:
1. Kaidah-kaidah
yang terdapat dalam lembaran-lembara kitab fiqh yang ditulis oleh para pendiri
dan pemuka madzhab seluruhnya bukan berupa kaidah umum, namun masih dalam
bentuk qa’idah madzhab. Dalam artian, kaidah itu hanya sesuai pada suatu
maszhab tertentu tidak pada madzhab lain.
2. Sebagian besar
kaidah yang dibukukan pada abad-abad belakang atau sekarang, ternyata telah
dikemukakan oleh para ulama sebelumnya dengan redaksi yang berbeda. Misalnya
dalam Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ada kaidahالاقرار حجة قاصرة
(pengakuan adalah hujjah yang terbatas). Dengan redaksi yang berbeda,
kaidah ini telah dkemukakan al-Karkhi dalam kitabnya Risalah al-Karkhi (ushul
al-karkhi) sebagai berikut: ان المرء يعامل فى حق نفسه كما اقربه ولا يصدق على ابطال حق
الغير ولا بالزام الغير حقا(orang menggunkan hak pribadi sesuai dengan pengakuannya. Ia tidak dapat membatalkan hak orang
lain atau menetapkan hak kepadanya).
3. Qawaid fiqhiyyah terbentuk menjadi
sebuah disiplin
ilmu tersendiri secara berangsur-angsur. Di samping itu dalam pembuatannya pun
para fuqaha membentuknya secara bertahap. Pada awalnya, hanya berupa pemikiran
tentang suatu persoalan, kemudian setelah pemikiran tersebut mantap, baru mereka bentuk
menjadi sebuah kaidah.
B. Saran
Dalam
makalah ini sudah dijelaskan mengenai bagaimana sejarah qawaidhul fiqhiyah,
perkembangan dan penulisan qawaidhul fiqhiyah serta kaidah-kaidah apa saja yang
terdapat di qawaidul fiqhiyah. Namun kami merasa masih terdapat kekurangan
dan kelemahan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami meminta
kritikan yang berupa saran dari teman-teman semua terutama kepada Dosen
Pembimbing untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Nadwiy, Ali Amad, al-Qawaid al-Fiqhiyah, Mafhumuha, Nasyatuha, Tatawwuruha (Damaskus:
Dar alQalam, 1994)
al-Sadzali, Hasan Ali, al-Madkal li al-fiqh al-Islami, Tarikh alTasyri' al-Islami, (Kairo:
Jamia'a al-Azhar, 1980)
al-Burnu, Muhahmmad Sidqi bin Ahmad bin Muhammad, al-Wajiz Fi Idhah Qwaid al-Fiqh al-kulliyah,
(Beirut: Muasasah al-Risalah, 1996)
Kamil, Umar Abdullah, al-Qawaid al-Kulliah al-Kubra Wa Atsruha fi al-Muamalat al-Maliyah, (Disertasi
Doktor Universitas al-Azhar t.t)
al-Zuhaili, Muhammad Mustafa, al-Qawaid al-Fiqiyah wa tathbiquha fi al-Mazahib al-Arba'ah,
(Damaskus: Dar al-Fikri, 2006)
al-Khadimiy, Nuruddin Mukhtar, al-Muyassar fi 'Ilmi alQawaid al-Fiqiyah, (Tunisia: Yayasan Ibnu
'Asyur, 2007)
al-Ruki, Muhammad, Nazhariyah al-Taq'id al-Fiqiy, (Beirut, Dar Shafa, 2000)
http://nurieas.blogspot.com/2012/07/sejarah-perkembangan-qawaid-fiqhiyah.html Diakses pada tanggal 04 Juli 2012
[1]
Muhammad al-Ruki, Nazhariyah al-Taq'id al-Fiqiy, 2000, Beirut: dar Shafa, hal
97-107
[2]
Nuruddin Mukhtar al-Khadimiy, al-Muyassar fi 'Ilmi al-Qawaid alFiqiyah, 2007,
Tunisia: yayasan Ibnu 'Asyur, hal. 43.
[3] Ibid hal. 44
[4]
Al-Nadwi, op. cit. dan lihat Muhahmmad
Sidqi bin Ahmad bin
Muhammad al-Burnu,
al-Wajiz Fi Idhah Qawaid al-Fiqh
al-Kulliyah, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1996), h. 90-91.
[5]
Ibid, hal. 92, dan lihat Umar Abdulla
Kamil, al-Qawaid al-Kulliah al-Kubra Wa
Atsruha fi al-Muamalat al-Maliyah 7 , hal. 93.
[6]
Ibid, hal 96
[7] , hal. 103
[8]
Ibid, hal. 133
[9]
Ibid, hal 134
[10] , hal. 135
[11] , hal. 135-137
[12] Ibid, hal. 137-138
[13]
Ibid, hal. 138-139
[14] , hal. 139-140
[15]
Ibid, hal.140
[16]
Ibid, hal. 156-157
Tidak ada komentar:
Posting Komentar